Pantaskan Masyarakat menjadi Kambing Hitam di Kebakaran Hutan?

Peta Kebakaran Hutan Di Indonesia

Ruang-inovasi.com – Berdasarkan artikel Tirto pada tanggal 21 September 2019 oleh Aditya Widya Putri yang berjudul Pembakaran Hutan: Elite yang Untung, Dayak yang Disalahkan dikatakan bahwa kambing hitam dalam kebakaran hutan yang ada di Kalimantan, masyarakatlah yang menjadi kambing hitamnya.

Kebakaran Hutan

Berdasarkan data Sipongi Kebakaran Hutan dan Lahan, sepanjang Januari-15 September 2019 telah terjadi kebakaran seluas 328 ribu ha di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut mencapai 64% dari luas karhutla sepanjang tahun lalu.

Memang, sistem tanam ladang berpindah dengan cara bakar lahan memang kurang berkelanjutan apalagi ditambah dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi pedesaan yang rendah. Namun bukan berarti hal ini yang menjadi utama untuk mencari siapa yang salah dalam pengelolaan tata guna lahan ini. Hal ini juga diutarakan oleh Pedro A. Sanchez, and Polly J. Ericksen, dalam jurnalnya yang berjudul Slash-and-Burn Agriculture:  The Search of Alternatives.

Pembakar Hutan

Tirto.co.id juga mengutip bahwa penelitian oleh Herry Purnomo yang terbit di Forest Policy and Economics Journal mengungkap bisnis menguntungkan jual beli lahan di balik kasus karhutla. Aktor pembakar lahan ia kerucutkan menjadi tiga tipe. Aktor pertama berskala kecil adalah peladang atau masyarakat lokal. Diakui Herry, tipe aktor ini tidak memberi dampak signifikan terhadap karhutla.

Tipe menengah dan tingkat perusahaanlah yang memperluas kebakaran hingga ribuan hektar. Pembakar tipe menengah ini biasanya dilakukan oleh pendatang yang menjadi broker jual beli lahan antara elite lokal dengan pembeli dari kota. Mereka paling sulit dideteksi karena tidak memiliki alamat jelas dan membakar dengan berpindah lahan.

“Mereka (menjual lahan) pakai Surat Keterangan Tanah (SKT) lewat kepala desa. Padahal itu ilegal,” jelas Herry saat dihubungi Tirto, Rabu (18/9/2019).

Metode Bakar Lahan

Miskonsepsi tentang keberlanjutan metode pertanian ini lah yang diklarifikasi oleh Gleb Raygorodetsky dalam artikelnya yang berjudul These Farmers Slash and Burn Forests—But in a Good Way yang terbit secara digital di Nationalgeographic.com. Beliau mengatakan bahwa petani di Hin Lad Nai, Thailand menggunakan metode bakar lahan dengan cara ladang berpindah, atau tidak satu tempat dan ini sudah diprakterkan selama bertahun-tahun di daerah tropis dengan kelembaban yang tinggi. Hal ini persis sama dengan apa yang dipraktikan oleh Suku Dayak di Kalimantan.

Petani Dayak Panen
Petani Dayak Panen

Dari sisi budaya, suku Dayak sudah menggunakan metode ini selama ratusan tahun. Tapi apa yang dianggap kebakaran hutan ini akibat ulah para rakyat biasa ini karena mereka tetap melestarikan budaya ini dengan tanpa hutan. Yang tersisa adalah alang-alang yang disekitarnya tidak ada hutan rimba yang memiliki kelembaban tinggi untuk menahan laju api. Sekarang suku Dayak sudah dikelilingi oleh pohon yang kecil-kecil dan sawit sehingga wajar kalau mereka jadi kambing hitam karhutla oleh pemerintah.

Wirausaha sosial yang kami dorong di Punan Mahkam, masyarakat tetap bisa mempertahankan budayanya dengan melindungi hutan mereka. Proporsi mereka untuk membakar tidak lah semasif perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang agro. Satu kepala keluarga rata-rata menggunakan 1 hektar.

Hutan Lindung Punan Mahkam
Hutan Lindung Punan Mahkam

Yang perlu kita perjelas di sini adalah, suku Dayak butuh hutan dan harus dilindungi secara hukum oleh negara. Birokrat harusnya lebih luwes secara administratif dan prima dalam pelayanan ketika berhadapan dengan masyarakat desa yang ingin menghargai negara dengan mengikuti skema-skema perhutanan sosial. Adanya perhutanan sosial membuat warga lebih terlindungi dari sisi budaya dan lingkungan yang jelas akan berdampak langsung dengan keberlanjutan manusia di sekitarnya.(HR/RI)